SEJARAH SINGKAT PMII


Sebagai anggota maupun kader PMII setidaknya harus mengetahui sejarah PMII adalah sebuah keharusan dan menjadi suatu hal yang penting untuk mendasari bagaimana nantinya pola kedepan kita sebagai anggota maupun kader PMII. Ir. Soekarno, presiden pertama Indonesia pernah berbicara JASMERAH, jangan sekali-sekali melupakan sejarah.

PMII atau kepanjangan dari katan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia atau yang dalam Bahasa inggris dikenal Indonesian Moeslem Student Movement adalah anak cucu organisasi Nahdlatul Ulama atau NU yang lahir dari departemen perguruan tinggi Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama atau IPNU. 

Lahirnya PMII bukannya berjalan mulus, banyak sekali hambatan dan tantangan. Hasrat mendirikan organisasi mahasiswa NU sudah lama bergulat. Namun, pihak NU belum memberikan green light. Belum menganggap perlu adanya organisasi tersendiri untuk mewadahi anak-anak NU yang sedang belajar di Perguruan Tinggi.

Melihat fenomena ini kemudian kemauan keras anak-anak muda itu tidak pernah kendor bahkan semakin berkobar-kobar saja dari kampus ke kampus. Hal ini bias dimengerti, karena kondisi social politik pada tahun 1950-an memang sangat memungkinkan untuk lahirnya sebuah organisasi baru. Banyak organisasi mahasiswa bermunculan dibawah naungan payung panji. Misalnya saja Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang sangat dekat dengan Majlis Syuro Muslimin Indonesia (MASYUMI). Kemudian ada Srikat Mahasiswa Muslimin Indonesia (SEMI) yang dekat dengan Parta Srikat Islam Indonesia (PSII). Lalu ada Kesatuan Mahasiswa Islam (KMI) yang dekat dengan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI). Lalu ada Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) yang dekat dengan Muhammadiyah. Lalu yang terakhir ada Himpunan Mahasiswa Al-Jamiatul Wasilah (HIMMAH) yang dekat dengan Al Washliyah.

Wajar saja jika kemudian anak-anak NU ingin mendirikan wadah tersendiri dan bernaung dibawah panji bintang Sembilan. Dan benar, keinginan itu kemudian diwujudkan dalam bentuk Ikatan Mahasiswa Nahdlatul Ulama (IMANU) pada akhir 1955 dan di prakarsai oleh beberapa tokoh pimpinan pusat IPNU. Akan tetapi, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menolak keberadaan IMANU. Hal ini bias kita pahami kenapa NU bias bertindak keras, sebab waktu itu IPNU baru saja lahir yakni pada 24 Februari 1954. Apa jadinya jika organisasi yang baru lahir saja belum terurus sudah menangani yang lain? Hal ini memang logis, jadi keberatan NU bukan terletak pada prinsip berdirinya IMANU. Tetapi lebih kepada pertimbangan waktu, pembagian tugas dan efektivitas organisasi.

Oleh karenanya sampai pada kongres IPNU yang ke 2 yakni awal 1957 di Pekalongan dan ke 3 yakni akhir tahun 1958 di Cirebon, NU belum memandang perlu adanya wadah tersendiri bagi anak-anak mahasiswa NU. Namun, kecenderungan ini sudah diantisipasi dalam bentuk kelonggaran menambah departemen baru dalam structural organisasi IPNU. Yang kemudian departemen ini dikenal dengan departemen perguruan tinggi.

Sehingga sampailah pada momentum Konferensi Besar (KONBES) IPNU pada tanggal 14 sampai 16 Maret 1960 di Kaliurang, di sepakati untuk mendirikan wadah tersendiri bagi mahasiswa NU yang disambut dengan berkumpulnya tokoh-tokoh mahasiswa NU yang tergabung dalam IPNU dalam sebuah musyawarah selama 3 hari yakni pada tanggal 14 sampai 16 April 1960 di UNSURI Surabaya. Dengan semangat membara mereka membahas dan bentuk organisasi yang telah lama mereka idam-idamkan. 

Bertepatan dengan itu ketua umum PBNU yakni K.H Dr. Idham Khalid memberikan lampu hijau akan memberi semangat kepada mahasiswa NU agar menjadi kader dan mahasiswa yang mempunyai prinsip “Ilmu Untuk Diamalkan dan Bukan Ilmu Untuk Ilmu”. Maka, lahirlah organisasi mahasiswa dalam naungan NU pada tanggal 17 April 1960 yang kemudian organisasi itu di beri nama Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia atau yang di singkat PMII.

Disamping latar belakang lahirnya PMII tersebut, sebenarnya pada waktu itu anak-anak mahasiswa NU yang ada di organisasi lain seperti HMI merasa tidak puas atas pola gerak HMI. Menurut mereka para mahasiswa NU mereka beranggapan bahwa HMI sudah berpihak pada salah satu golongan yang kemudian di tenggarai bahwa HMI adalah underbownya partai Masyumi. Sehingga wajar, kalau mahasiswa NU di HMI mencari alternative lain. Hal ini juga di ungkapkan oleh Deliar Nur tahun 1987, dia mengatakan bahwa “PMII merupakan cermin ketidak puasan sebagian mahasiswa muslim terhadap HMI, yang dianggap bahwa HMI dekat dengan golongan modernis (Muhammadiyah) dan dalam urusan politik lebih dekat dengan Masyumi.”

Dari paparan diatas, bias ditarik  kesimpulan atau pokok-pokok pikiran mengenai makna dari kelahiran PMII.

  1. Bahwa PMII hadir karena ketidak mampuan departemen perguruan tinggi IPNU dalam menampung aspirasi anak muda NU yang ada di perguruan tinggi.
  2. PMII lahir dari rekayasa politik sekelompok mahasiswa muslim NU untuk mengembangkan kelembagaan politik menjadi underbow NU dalam upaya merealisasikan aspirasi politiknya.
  3. PMII lahir dalam rangka mengembangkan paham Ahlussunah Wal Jama’ah di kalangan mahasiswa.
  4. Bahwa PMII lahir dari ketidak puasan mahasiswa NU yang saat itu ada di HMI, karena HMI tidak lagi mempresentasikan paham mereka atau mahasiswa NU dan HMI di tengarai lebih dekat dengan partai Masyumi.
  5. Bahwa lahirnya PMII merupakan wujud kebebasan berpikir, artinya sebagai mahasiswa harus menyadari sikap menentukan kehendak sendiri atas dasar pilihan sikap dan idealism yang dianutnya.

Dengan demikian, ide dasar pendirian PMII adalah murni dari anak-anak muda NU sendiri. Bahwa kemudian harus bernaung dibawah panji NU. Bukan berarti sekedar pertimbangan praktis semata misalnya. Karena pada kondisi saat itu yang memang nyaris menciptakan iklim independensi sebagai suatu kemutlakan. Tetapi, lebih dari itu. Keterikatan PMII kepada NU memang sudah terbentuk dan sengaja di bangun atas dasar kesamaan nilai, kultur, aqidah, cita-cita dan bahkan pola berpikir, bertindak dan berprilaku. Tetapi kemudian PMII harus mengakui dengan tetap perpegang teguh pada sikap dependensi. Timbul berbagai pertimbangan membutuhkan atau tidak dalam sikap dan berprilaku untuk kebebasan menentukan nasib sendiri. Oleh karena itu, haruslah diakui bahwa peristiwa besar dalam sejarah PMII ketika mulai dipergunakannya istilah independent dalam deklarasi Murnajati pada tanggal 14 Juni 1972 di Malang dalam Musyawarah Besar ke 3 PMII. Seolah telah terjadi pembelahan diri anak dari induknya.

Sejauh pertimbangan-pertimbangan yang terekam dalam dokumentasi historis sikap independensi itu tidak lebih dari proses pendewasaan PMII sebagai generasi muda bangsa yang ingin eksis di mata masyarakat dan bangsanya. Ini terlihat jelas dari 3 butir pertimbangan yang melatar belakangi sikap independensi PMII tersebut.

  1. PMII melihat pembangunan dan pembaharuan mutlak memerlukan insan-insan Indonesia yang berbudi luhur, taqwa kepada Allah SWT, berilmu dan cakap serta bertanggung jawab, bagi keberhasilan pembangunan yang dapat dinikmati secara merata oleh seluruh rakyat
  2. PMII selaku generasi muda Indonesia sadar akan perannya untuk ikut serta bertanggung jawab bagi keberhasilan pembangunan yang dapat dinikmati secara merata oleh seluruh rakyat.
  3. Perjuangan PMII yang senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan idealism sesuai deklarasi Tawamangu, menuntut berkembangnya sifat-sifat, keterbukaan dalam sikap, dan pembinaan rasa tanggung jawab.

Berdasarkan pertimbangan itulah PMII menyatakan diri sebagai organisasi independent tidak terikat baik sikap maupun tindakan kepada siapapun. Dan hanya komitmen terhadap perjuangan organisasi dan cita-cita perjuangan nasional yang berlandaskan Pancasila.

Di Tulis Oleh : Teguh Pati Ajidarma | Pemuda Desa, Santri Bani Rusydi Annawawi dan Kader Muda NU

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SERIUS PEMILU MAU DI TUNDA?

MENJEMPUT TUGAS MANUSIA ; HAMBA & KHALIFAH

KESETARAAN GENDER & KELEMBAGAAN KOPRI